BAB IV. RENNAISANCE, ELIMINASI KEBENARAN TUHAN

BAB IV. RENNAISANCE, ELIMINASI KEBENARAN TUHAN

Konstantinopel tahun 1453 adalah kota penting abad pertengahan, memiliki simbol kebesaran bagi Nasrani Unitarian (Ortodoks) yaitu Gereja Hagia Sophia. Terdapat perbedaan antara Roma dan Konstantinopel yang terletak pada aqidahnya. Di Roma, Nasrani menganut Trinitas (konsep tiga Tuhan), sedangkan Nasrani Konstantinopel menganut Unitarian (satu Tuhan). Perbedaan inilah yang membuat kegaduhan di kalangan umat Nasrani.

Romawi di Roma runtuh di abad 5 Masehi, sementara kejayaan Romawi tetap tumbuh di Konstantinopel. Bagi muslimin, Konstantinopel adalah Romawi. Dalam Al Quran tertera surat Ar Rum (romawi). Yang dimaksud adalah Konstantinopel, karena Al Quran diturunkan abad 7 di Makkah dan Madinah. Saat Al Quran diwahyukan, romawi yang di Roma telah hancur.

Antara trinitas dan unitarian, menggeser keyakinan umat Nasrani akan konsep kebenaran yang dihembuskan Gereja. Adagium yang berkembang adalah Vox Rei Vox Dei (suara raja suara Tuhan). Sementara kaum Nasrani melihat tingginya dialektika dalam Islam. Mereka memandang dalam Islam, kebebasan berpikir dibolehkan dan tidak membuat Islam jadi mundur. Sementara Nasrani memandang ketika kebebasan dibelenggu, tak membuat umat Eropa maju.

Konstantinopel akhirnya takluk di tangan muslimin di bawah sultan Utsmaniyah, Mehmed II. Romawi pun tamat. Kegaduhan umat Nasrani bertambah, ditambah memuncaknya rasa tak percaya pada Gereja. Berita jatuhnya Konstantinopel meluas ke belantara eropa. Eropa mengutuk kejadian itu. Mereka bertanya-tanya mengapa Gereja di Roma tak memberi bantuan pada Konstantinopel. Sementara di Konstantinopel, “kebencian” pada pihak Roma juga tinggi. Situasi ini lah yang membuat umat jengah pada Gereja. Nasrani dianggap sebagai agama yang jumud, dengan melarang manusia menggunakan rasio, yang justru beda dengan Islam.

Dari sini, cara berpikir logos makin diminati. Aquinas telah membuka pintu bagi filsafat masuk dalam dunia Nasrani. Dia belajar dari Ibnu Rusyd yang membuka pintu filsafat dalam melihat Islam. Gebrakan pertama muncul dari Nicolas Copernicus. Dia mengeluarkan pandangan yang menentang Gereja tentang Geosentris (berpusat pada bumi). Copernicus menyatakan bumi hanya salah satu dari beberapa planet yang mengelilingi matahari. Pandangan ini pun merubah posisi pijakan manusia.

Sebelumnya manusia dianggap sebagai objek kehidupan tata surya. Lalu dari teorinya, manusia bukan lagi poros tata surya. Pendapat Copernicus ini telah meletakkan cara pikir di Eropa. Dari sini, merebak teori bahwa manusia bukan objek yang diamati. Melainkan subjek yang mengamati. Maknanya selama ini, Tuhan seolah menjadi “hal” yang memantau manusia. Tapi dari teori heliosentris, memutar pandangan bahwa ternyata manusia bukan objek yang diamati dalam kehidupan dunia. Dari sini, muncul kesimpulan bahwa manusia dipandang mampu menciptakan sesuatu benda, menggerakkan benda dengan sendirinya. Tanpa kehadiran Tuhan.

Dengan bergesernya kebenaran Tuhan dalam bidang kosmosentris, mempengaruhi juga dalam bidang hukum. Di situlah logos menjadi dasar pikir bahwa Tuhan tak hadir dalam kehidupan manusia. Hugo de Goot (Grotius) mulai mendobrak hal itu. Grotius meletakkan bahwa kebenaran hukum alam itu terletak pada rasio manusia. Bukan merujuk rasio Tuhan yang selama ini diterjemahkan Gereja. Grotius telah memantik kaum Eropa berpikir bahwa kebenaran bukan mutlak berasal dari wahyu Tuhan, melainkan manusia sendiri dengan rasionya, menentukan baik buruk, benar salah, yang sesuai dengan alam.

Ditambah hadirnya Francis Bacon, seorang jurist dari Kerajaan Inggris. Dunia nyata menurut Bacon, merupakan kenyataan terbatas serapan Indrawi. Bacon menyimpulkan bahwa segala sesuatunya yang layak dianggap benar haruslah yang bisa diserap indera manusia. Sejak itu lah Tuhan tak lagi dianggap sebagai kebenaran mutlak. Kemudian muncul filsafat ilmu (knowledge). Bacon memperkenalkan metode baru yang kemudian diterapkan untuk ilmu-ilmu empiris, yakni logika induktif.

Pandangan Bacon ini selain berpengaruh dalam dunia sains, juga berpengaruh dalam mengubah aturan hukum. Karena kebenaran tak lagi merujuk Wahyu yang dianggapnya tidak bisa diserap Inderawi. Melainkan manusia sendiri yang menyusunnya. Bacon menjabarkan “ saya berpikir (think) maka saya ada (being)”. Dari sini lalu lahir cara pikir “Tuhan hanya ada dalam pikiran manusia saja”. Ketika Tuhan tidak dipikirkan maka Tuhan tak ada.

Berpikir deduktif


Era Rennaisance, berarti  era kelahiran kembali. Filsafat yang semula hanya dipakai untuk memikirkan suatu benda, kemudian melebar menjadi kerangka dasar bagaimana masyarakat harus diatur. Model platonis dan aristotelian menjadi rujukan. Politeia dihidupkan kembali. Itulah jadi kerangka “negara”.

Sebelumnya, lahir Rene Descartes atau biasa disebut Cartesius. Dia mengembangkan teori Bacon. Dia merumuskan cara berpikir deduktif logis. Metode ini menggunakan pola “ saya ada (being), maka saya berpikir (think)”. Kebalikan dari metode induktif. Alhasil, keberadaan tentang Tuhan makin merosot. Tuhan ada, karena manusia-manusia ada.

Manusia, menurut Descartes adalah jiwa yang berpikir (a thinking mind) yang terperangkap dalam suatu jasad material yang memandang keluar ke sebuah dunia tak dikenal. Pandangan ini yang menjadi tonggak atas essensialisme. Descartes menyatakan rasio Tuhan sama sekali tidak hadir dalam pemeliharaan terhadap segala benda di dunia ini.

Di wilayah kosmosentris semakin merebak teori baru tentang asal-usul manusia. Charles Darwin mengenakan metode rasio untuk menggambarkan bahwa asal-usul manusia bukan dari surga, dan penggambaran tentang surga-neraka hanyalah ilusi belaka. Kemudian Galileo-Galilei menguatkan teori Copernicus tentang heliosentris. Galileo dihukum mati oleh Gereja.

Banyak terjadi praktek penyimpangan dalam tubuh Gereja sendiri, korupsi, penyalahgunaan kewenangan dan lainnya. Ditambah parah dengan tak adanya pertahanan dari pihak Gereja menghadapi serangan filsafat. Agama Nasrani sendiri telah mengandung cacat aqidah tentang trinitasnya. Hal-hal itu yang membuat masyarakat Nasrani sudah tak bisa lagi percaya pada Gereja. Berbeda tatkala filsafat berkembang di dunia Islam. Imam Ghazali, Shaykh Abdalqadir Jaelani, Imam Juneid dan lainnya banyak ulama yang mampu menahan atas ajaran Filsafat ini. Tassawuf tetap menjadi primadona.

Perlawanan yang terjadi dari umat Nasrani eropa kepada penguasa dimulai dari lahirnya Magna Charta di Kerajaan Inggris. Saat itu terjadi kesepakatan antara raja John dengan 25 baron di pedesaan Runnymede. Perjanjian itu terkait dengan pajak yang sangat tinggi dari Raja. Alhasil dilakukan negosiasi ulang yang menghasilkan Magna Charta. Masa Rennaisance, masyarakat menggoyang aturan Kitab Suci agar berkesuaian dengan kehendak rakyat. Adagium Vox Rei Vox Dei makin merosot hingga menjadi suara Rakyat suara Tuhan (vox populi vox Dei).

Pematangan cara berpikir rasio berlangsung di masa aufklarung (pencerahan). Kebenarang berlandas rasio wajib dilengkapi dengan metode empiris (pengalaman). Dari sini teori hukum kodrat diperkenalkan, bukan hukum berlandas Wahyu atau kitab suci. Di masa aufklarung ini muncul Thomas Hobbes, John Locke, David Humme, JJ Rosseau, Imanuel Kant, dll. Rosseau meletakkan teori “kontrak sosial” dalam kehidupan masyarakat. Dalam periode ini dirumuskan bahwa aturan juga harus lahir berdasar kodrati. Namun kodrati itu terbentuk melalui proses nalar deduktif, bukan dari Wahyu.

Kontrak sosial ini yang melahirkan konstitusi. Lalu muncul gejolak baru dalam dunia hukum bahwa hukum harus muncul dengan sistem dan azas-azasnya. Dari sinilah landasan bahwa hukum itu harus tertulis, sistematis dan bisa diakses seluruh manusia. Ini lah yang melahirkan format undang-undang di era kini. Dalihnya, hukum yang tak tertulis, yang bersifat lisan, menimbulkan ketidakpastian. Maka harus ditolak. Imbasnya, kitab suci yang tidak tertulis dan bersifat lisan juga harus ditolak sebagai landasan aturan hukum.

Empiris Kritis

Lalu datang lagi Immanuel Kant, melahirkan metode baru dalam bidang hukum, ratio scripta. Metode akal budi. Kant menyebut kebenaran sejati sebagai ‘ding-an sich’ berada pada suatu dunia yang dapat diraba baik oleh panca-indera maupun akal. Inilah parameternya.
Dalam hal pengetahuan, Kant mendudukkan tentang pengetahuan yang diperoleh karena pengalaman yang diperoleh sebagai hasil penggunaan akal dan rasio manusia. Kebenaran harus yang sudah diakses oleh empiris dan rasio. Banyak faktor lain yang juga membuat secara alamiah ratio scripta menjadi banyak diminati. Di samping Gereja tak mampu memberi jawaban, juga terjadi pertentangan aqidah dalam Nasrani. Mencuatnya Protestan sampai terjadi perang antara umat Katolik dan Protestan yang panjang di Eropa, dari Jerman hingga Spanyol, membuat krisis kepercayaan pada Gereja makin menguat.

Dampaknya adalah perubahan Monarkhi dan Gereja yang berpuncak pada revolusi Perancis abad 18. Disitulah “state” menjadi bermula dan konstitusi menjadi wajib sebagai pijakan hukum. Itulah yang mendominasi hingga kini.  

Komentar